Ahlan Wa Sahlan...

Ahlan Wa Sahlan...silahkan memaknai semua yang tergores di blog ini

Jumat, 12 November 2010

Kembali Ke Surau (Lagi)


Ini tentang sebuah fenomena yang mungkin tak dianggap penting untuk dibahas. Dapat dicarikan beribu-ribu alasan untuk mengatakan bahwa masalah ini tidak perlu lagi dibahas, mungkin karena agenda dakwah ini sudah semakin banyak, beban para da’I sudah sangat menumpuk, atau mungkin karena masalah ini sudah dianggap selesai, dalam arti kata sudah bukan saatnya lagi kita disibukkan oleh masalah-maslah kecil.
Tetapi ini masalah kepekaan, sehingga menurut saya tetap saja relevan untuk diangkat. Kepekaan kita terhadap segala hal yang sangat mungkin menjadi penyebab robohnya bangunan dakwah ini, logika sederhana dan sangat klasik bahwa permasalahan kecil bila tidak segera diselesaikan akan menjadi besar.
Lebih berbahaya lagi bila terjadi kesalahan dalam mengklasifikasikan permasalahan. Bisa jadi masalah yang dianggap kecil ternyata sesungguhnya  adalah permasalahn besar ataupun sebaliknya, maka harus jeli dan mendalam ketika mengklasifikasikan permasalahan ini. Bila salah dalam pengklasifikasian tentu akan sangat merepotkan.
Maksud saya adalah tentang perhatian kita terhadap sholat berjamaah di masjid. Saya menganggapnya masalah besar. Bukannya mendramatisir, tetapi akan besar kemungkinannya kelalaian dalam masalah ini akan berpengaruh pada melemahnya imunitas internal para da’I dalam menghadapi godaan-godaan dunia. Bila imunitas itu sudah hilang maka apapun akan terjadi, dari penyimpangan paling sederhana sampai pada penyimpangan-penyimpangan yang tak disangka-sangka.
Lagi-lagi tidak bermaksud mendramatisir, bila saya katakan bahwa  masalah ini bahkan akan berakibat fatal hingga pada robohnya dakwah ini di tangan para da’I, logika sederhananya lagi adalah, bila imunitas melemah  kemudian para da’I tergoda dengan bermacam godaan yang hadir di mihwar yang memang meniscayakan adanya godaan itu, lalu terjadi penyimpangan-penyimpangan, lalu tak ada system yang kuat untuk menyelesaikan masalah, maka yang terjadi adalah robohnya dakwah ini. Naudzubillah.
Bila kepekaan kolektif sebuah organisasi dakwah telah hilang terhadap permasalahan sholat berjamaah di masjid ini, maka ini adalah awal dari tercerabutnya dakwah itu dari asholah-nya. Hilangnya asholah dalam dalam sebuah organisasi dakwah adalah awal dari kehancurannya.
Mungkin kita dapat mengemukakan sekian banyak alasan untuk membantah, dan mengatakan bahwa kita tidak bermaksud mengenyampingkan atau  menganggap kecil masalah ini, dengan argumentasi-argumentasi tekhnis semisal ketika adzan berkumandang acaranya sebentar lagi selesai, atau alasan-alasan lain.
Tetapi hendaknya kita mengukur jangan sampai alasan itu membuat kita menjadi lalai dalam sholat, kalau sholat ashar yang seharusnya dilakukan pukul 15.00 baru bisa dilaksanakan pukul 16.30, tentu ukuran hampir selesainya harus dipertanyakan lagi.
Dengan semakin lengkapnya garapan dakwah ini, tentu semakin lengkap pula cobaannya, dengan semakin lengkapnya cobaannya tentu semakin banyak pula energi ruhani yang dibutuhkan, dengan banyaknya energi ruhani yang dibutuhkan tentu harus ditingkatkan pula hubungan  ruhani ini dengan Pemiliknya.
Intinya, mari kita perhatikan lagi masalah ini, ini masalah penting, ini maslah besar, jangan sampai gerakan dakwah ini kehilangan kepekaan kolektif terhadap masalah ini. Ayo kembali ke sura-surau tempat gerakan dakwah ini dilahirkan… !.

قم الي الصلاة متي سمعت النداء مهما تكن الظروف (حسن ألبنا)
“Bangunlah untuk sholat ketika engkau mendengar adzan bagaimanapun kondisimu” (Hasan Al-Banna)
    

Jumat, 22 Oktober 2010

Semakin Cinta


Ini tidak membicarakan keterpisahan
Tetapi tentang hari istimewamu
Yang tidak dapat kubersamai…
Membahagiakan…
Membuat tersenyum ..
Dan mendekapmu dengan cinta..
Hal yang biasa dilakukan orang yang saling mengasihi
Di hari-hari istimewa kekasih mereka..
Aku mungkin  tak dapat melakukan itu saat ini..
Karena raga kita berpisah…
Tetapi bukankah ruh orang-orang yang saling mencintai selalu bersama…
Dan untuk raga ini..
Biarlah puisi ini mewakili…
Untuk mengatakan padamu..
Semakin bertambah tahun kebersamaan kita…
Aku semakin mencintaimu…
Sungguh…
Selamat hari lahir sayang..

Selasa, 07 September 2010

Cinta Yang Lembut...


Istriku….
Telaga yang dalam itu tenang permukaannya…
Ia seakan tak menenggelamkan…
Tapi lihat…
Ia dapat menelan siapa saja yang tak waspada…
Istriku….
Air yang lembut itu ternyata bertenaga….
Menyelinap diantara bebatuan yang keras…
Mengalir sampai jauh…
Lihatlah…
Tak lelah ia membawa apa saja yang bisa ia bawa…
Begitulah…
Cinta ini…
Mungkin terlalu dalam…
Cinta ini….
Mungkin terlalu lembut…
Sedalam telaga yang tenang…
Selembut air yang mengalir…
Tapi…
Ia bertenaga…
Dapat merawat dan menumbuhkan…
Dapat menjaga dan mengayomi…
Dapat mengarahkan bahtera cinta ini…
Kesana…
Ke surga-Nya yang abadi…

NB: Untuk Istriku…yang beberapa hari lalu bertanya: Kenapa telah lama tak menulis puisi?.
 

Rabu, 01 September 2010

Air Mata Cinta


Tentang air mata. Banyak yang tak terlalu berminat untuk menumpahkannya. Meski pada hal-hal yang sudah selayaknya ditangisi. Ia melembutkan, ia mendidik, ia memberikan kenyamanan. ia  ekspresi terdalam  terhadap sesuatu yang memang layak untuk ditangisi. Karena tangisan cermin hati, cermin cinta, cermin kasih dan cermin kepribadian.
Tentang air mata dan dakwah. Pernahkah ia tertetes hanya karena hati begitu sedih setelah memperhatikan kondisi para da’I?. melihat mereka yang tumbang setelah sekian lama bersama, melihat mereka yang terseok setelah sekian lama mengikrarkan cinta pada dakwah ini, bahkan melihat mereka yang dengan sengaja berkolaborasi menyerang, menyudutkan serta menginjak wajah dakwah ini setelah sekian lama hidup bersama dakwah. Hanya karena satu alasan: Kecewa.
Tentang air mata dan ummat. Adakah ia mengalir?. Ketika melihat ummat dalam kondisi mengenaskan, tertindih, diinjak, dizhalimi, diabaikan. Ketika melihat muka-muka lugu yang memancarkan aura harapan. Belajarlah pada Imam Syafi’I yang tak batal wudhu’ isyanya hingga subuh hanya karena merenung memikirkan ummat.
Berbahagialah mereka yang masih bisa menumpahkan airmatanya untuk dakwah yang mereka cinta dan ummat yang sangat mereka cintai. Bila tak dapat lagi airmata tertumpah  dengan melihat ummat ini dan memikirkan dakwah ini, berarti hati sudah lebih keras dari batu, bukankah air masih bisa mengalir dengan lembut ditengah bongkah-bongkah batu yang keras?.
Air mata cinta, hanya dapat mengalir dari orang-orang yang mencintai, hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang mencintai. Kenimatannya tak dapat dilukiskan dengan kata, cerita serta tulisan. Keprihatinan, kegelisahan, keinginan untuk memperbaikilah yang menumpahkannya. Ummat dan dakwah ini memang tak hanya membutuhkan airmata. Tetapi airmata itu menggerakkan, airmata itu mendorong, airmata itu menggugah.
Apakah tak layak ditangisi?. bila pengkhianatan dari tujuan dakwah ini telah dipertontonkan dengan terang benderang dan itu artinya pengkhianatan terhadap ummat yang telah banyak berharap. Apakah tak layak ditangisi?. bila kebencian terhadap saudara sudah menjadi kegemaran dan itu artinya kontribusi bagi terpecahnya barisan. Apakah tak layak ditangisi?. bila hati tak lagi nyaman hidup bersama para da’I yang tulus dan itu artinya mendidik diri untuk nyaman bersama orang-orang yang mencibir kegigihan para da’i.
Airmata itulah pelembut hati. Yang mendidik hati untuk mengalah, yang mendidik hati untuk menerima kekurangan orang lain, yang mendidik hati untuk bersabar terhadap cobaan, yang mendidik hati untuk mengerti kondisi sesama, yang mendidik hati agar dapat mencintai…menyanyangi …melindungi…dan mendekap saudara ke dalam dekapan ukhuwah yang indah.
Maka di rabithoh-mu bayangkan wajah-wajah saudara yang tercinta, maka di rabithoh-mu bayangkan wajah-wajah ummat yang berharap. Agar terikat hati ini dengan ikatan ukhuwah yang erat, agar terikat hati ini pada keinginan untuk memenuhi harapan ummat. Sesekali..menangislah…untuk dakwah ini ..untuk ummat ini.. Wallahu A’lam.

Minggu, 22 Agustus 2010

Bencana Persaudaraan


Ada bencana yang seringkali tak ditangisi bahkan terkadang tak disadari. Kehilangan rasa percaya pada saudara. Dunia menjadi sempit. Angin kebaikan berhenti berhembus, badai prasangka memporak porandakan seluruh potensi kebajikan. Ini bencana besar, bencana persaudaraan yang dapat mencerai beraikan barisan, sehingga perjuangan akan dihadapi sendiri-sendiri.
Kalau tidak lagi ada dialog, diskusi dan silaturahmi lalu akan banyak yang tersumbat. Komunikasi tak lancar. Segala prasangka bermain di wilayah akal kemudian nafsu mengambil peran, sedangkan hati terkalahkan. Lalu bencana itu menjadi kenikmatan yang dinikmati bagaikan secangkir kopi panas di pagi hari.
Apriori. Pintu telah ditutup rapat. Tak ada lagi celah untuk masuk bagi angin kebajikan. Bila nafsu sudah memainkan peran serta apriori telah menjadi pilihan, maka ketidak percayaan akan berevolusi menjadi kegemaran menggunjing saudara bahkan perlahan mencampurkan fakta-fakta subjektif dengan bunga-bunga fitnah yang tumbuh subur karena kotoran hati telah menjadi pupuk penyuburnya.
Muhasabahlah..bila tak ada lagi saudara yang baik di mata, mungkin mata yang tak lagi tajam memandang. Bila hati tak dapat lagi menyatu pada hati-hati bersih para da’I, mungkin hati ini telah terlalu terlena dengan dunia.
Lalu rendahkanlah hati..jika akal telah merasa dirinya paling benar maka mungkin ia telah berkolaborasi dengan hati yang sakit. Jika hati telah terpenuhi rasa takabbur ia tak akan pernah tunduk pada kebenaran. Hati harus menunduk, akal harus diajari untuk mengalah dan nafsu harus diajari berhenti menggebu.
Segalanya seringkali bermula dari prasangka, maka pahamilah mengapa Allah mensyariatkan tabayyun. Tidak ada yang lebih tahu tentang kebenaran prasangka yang  disangkakan selain Allah dan mereka yang yang menjadi objek prasangka. Itulah kenapa doa meminta ditampakkan kebenaran dan meminta diberikan kekuatan untuk mengikutinya disyariatkan. Dan itulah pula rahasia dibalik tabayyun langsung pada mereka yang menjadi objek prasangka.
Lalu menangislah….bila hati masih juga tak mau merendah..bila akal tak dapat lagi mencari alasan untuk mengalah..bila nafsu tak juga dapat diredam. Karena bencana itu tak lagi berwujud bentuknya semula, ia telah menjelma menjadi kematian hati yang sangat mengerikan.
 Kebijaksanaan tak hanya dipupuk oleh ilmu yang menumpuk. Kebijaksanaan tak hanya dipupuk oleh usia yang lapuk. Kebijaksanaan lahir dari hati yang selalu diasah dengan ibadah, disuburkan oleh ilmu yang diamalkan, lalu dipertajam oleh usia yang telah dipenuhi pengalaman yang termaknai.
Bencana ini akan perlahan hilang…bila hati mulai mengenal manisnya menunduk..bila akal telah menemukan dan mencintai alasan untuk mengalah pada hal-hal yang kebenarannya masih sangat subjektif…bila nafsu telah terarah dan terdidik. Wallahu A’lam  

Lelaki Kaku

Lelaki kaku
Yang berada jauh
Ku tahu cintamu menggebu
Meski bila bertemu
Tak pernah kau katakan rindu

Lelaki kaku
Yang memberikan seluruh waktu untukku
Ku tahu kau pernah tersedu
memikirkan ku dalam rindu

Lelaki kaku
Yang selalu ku rindu
Aku pun kaku
Tak pernah bisa berkata bahwa ku ingin memelukmu

Lelaki kaku
Pahlawanku
Dunia mengajarimu kaku
Namun tak kuasa menhapus kasih dan sayang dari hatimu

Lelaki kaku
Kapan lagi kita bertemu
untuk melerai semua kaku
Yang selama ini menghiasi rindu

Lelaki kaku
Yang selalu ku panggil : Ayah
Kali ini izinkan untuk ku katakan bahwa aku benar-benar rindu pada mu
Sungguh...

Jogja pagi, untuk Ayah dengan sepenuh rindu yang semoga tak lagi kaku.