Ahlan Wa Sahlan...

Ahlan Wa Sahlan...silahkan memaknai semua yang tergores di blog ini

Minggu, 22 Agustus 2010

Bencana Persaudaraan


Ada bencana yang seringkali tak ditangisi bahkan terkadang tak disadari. Kehilangan rasa percaya pada saudara. Dunia menjadi sempit. Angin kebaikan berhenti berhembus, badai prasangka memporak porandakan seluruh potensi kebajikan. Ini bencana besar, bencana persaudaraan yang dapat mencerai beraikan barisan, sehingga perjuangan akan dihadapi sendiri-sendiri.
Kalau tidak lagi ada dialog, diskusi dan silaturahmi lalu akan banyak yang tersumbat. Komunikasi tak lancar. Segala prasangka bermain di wilayah akal kemudian nafsu mengambil peran, sedangkan hati terkalahkan. Lalu bencana itu menjadi kenikmatan yang dinikmati bagaikan secangkir kopi panas di pagi hari.
Apriori. Pintu telah ditutup rapat. Tak ada lagi celah untuk masuk bagi angin kebajikan. Bila nafsu sudah memainkan peran serta apriori telah menjadi pilihan, maka ketidak percayaan akan berevolusi menjadi kegemaran menggunjing saudara bahkan perlahan mencampurkan fakta-fakta subjektif dengan bunga-bunga fitnah yang tumbuh subur karena kotoran hati telah menjadi pupuk penyuburnya.
Muhasabahlah..bila tak ada lagi saudara yang baik di mata, mungkin mata yang tak lagi tajam memandang. Bila hati tak dapat lagi menyatu pada hati-hati bersih para da’I, mungkin hati ini telah terlalu terlena dengan dunia.
Lalu rendahkanlah hati..jika akal telah merasa dirinya paling benar maka mungkin ia telah berkolaborasi dengan hati yang sakit. Jika hati telah terpenuhi rasa takabbur ia tak akan pernah tunduk pada kebenaran. Hati harus menunduk, akal harus diajari untuk mengalah dan nafsu harus diajari berhenti menggebu.
Segalanya seringkali bermula dari prasangka, maka pahamilah mengapa Allah mensyariatkan tabayyun. Tidak ada yang lebih tahu tentang kebenaran prasangka yang  disangkakan selain Allah dan mereka yang yang menjadi objek prasangka. Itulah kenapa doa meminta ditampakkan kebenaran dan meminta diberikan kekuatan untuk mengikutinya disyariatkan. Dan itulah pula rahasia dibalik tabayyun langsung pada mereka yang menjadi objek prasangka.
Lalu menangislah….bila hati masih juga tak mau merendah..bila akal tak dapat lagi mencari alasan untuk mengalah..bila nafsu tak juga dapat diredam. Karena bencana itu tak lagi berwujud bentuknya semula, ia telah menjelma menjadi kematian hati yang sangat mengerikan.
 Kebijaksanaan tak hanya dipupuk oleh ilmu yang menumpuk. Kebijaksanaan tak hanya dipupuk oleh usia yang lapuk. Kebijaksanaan lahir dari hati yang selalu diasah dengan ibadah, disuburkan oleh ilmu yang diamalkan, lalu dipertajam oleh usia yang telah dipenuhi pengalaman yang termaknai.
Bencana ini akan perlahan hilang…bila hati mulai mengenal manisnya menunduk..bila akal telah menemukan dan mencintai alasan untuk mengalah pada hal-hal yang kebenarannya masih sangat subjektif…bila nafsu telah terarah dan terdidik. Wallahu A’lam  

Lelaki Kaku

Lelaki kaku
Yang berada jauh
Ku tahu cintamu menggebu
Meski bila bertemu
Tak pernah kau katakan rindu

Lelaki kaku
Yang memberikan seluruh waktu untukku
Ku tahu kau pernah tersedu
memikirkan ku dalam rindu

Lelaki kaku
Yang selalu ku rindu
Aku pun kaku
Tak pernah bisa berkata bahwa ku ingin memelukmu

Lelaki kaku
Pahlawanku
Dunia mengajarimu kaku
Namun tak kuasa menhapus kasih dan sayang dari hatimu

Lelaki kaku
Kapan lagi kita bertemu
untuk melerai semua kaku
Yang selama ini menghiasi rindu

Lelaki kaku
Yang selalu ku panggil : Ayah
Kali ini izinkan untuk ku katakan bahwa aku benar-benar rindu pada mu
Sungguh...

Jogja pagi, untuk Ayah dengan sepenuh rindu yang semoga tak lagi kaku.

Jumat, 20 Agustus 2010

Kecerdasan Perasaan (Belajar Merasa Pada Dua Pemimpin Yang Perasa)

Suatu hari kata Umar Tilmisani Mursyid 'Am ketiga Ikhwanul Muslimin.
Hasan Al-banna di undang untuk makan siang di rumah salah seorang akh di
dekat Syabin Qanathir, sayangnya akh tersebut tidak mengundang Tilmisani
selaku penanggung jawab di wilayah itu. Hasan Al-Banna berusaha untuk
menyadarkan kekeliruan akh tersebut secara halus, namun akh tersebut tak juga
menyadari. Akhirnya Al-Banna mengutus orang untuk memanggil Tilmisani, dan
Tilmisani pun datang menemui Mursyid 'Am pertama Ikhwanul Muslimin
tersebut, dan terjadilah dialog ini:
"Mari berangkat bersama ku". Ujar Al-banna
"Kemana.?" Tilmisani bertanya.
"Makan siang di rumah si fulan". Jawabnya singkat
Lalu Tilmisani berkata:
"Tetapi saya tidak di undang, Ustadz paham sekali sensitifnya
perasaanku dalam hal seperti ini!"
"Saya paham betul. Tetapi, saya tidak dapat melintasi Syabin Qonathir
tanpa al-akh yang menjadi mas'ul. Mengapa engkau menghendakiku
melangkahimu?".
"Ustadz adalah pemimpin kami dan kami semua wajib taat kepada
Ustadz"
Dialog terus berlanjut hingga akhirnya Tilmisani ikut bersama Al-banna
karena ia mendesak dengan argumen-argumen yang logis.
Fregmen penuh hikmah yang di ketengahkan oleh orang-orang yang saling
memamahi satu sama lainnya. Tak dapatkah kita mengambil pelajaran?. Ada satu
hal yang terkadang terlupakan pada gerakan kita yaitu menghargai dan memahami
perasaan saudara sesama da'i yang berada di sekeliling kita.
Dengan semangat yang tinggi ada seorang akh yang begitu sering
ngomong ketika rapat, sehingga seakan-akan ia lah yang memimpin rapat pada
saat itu, padahal di sampingnya sang pemimpin terdiam menatapnya penuh
makna. Ketika di tegur setelah rapat usai ia berkata dengan lantang:
"Ya...pemimpinnya gitu sih gak ada inisiatif".
Pernah pula seorang panitia memberikan jatah taujih yang seharusnya
lebih pantas di berikan oleh ketua sebuah wajihah kepada orang yang
dianggapnya lebih bisa, tanpa sama sekali mengkomunikasikannya dengan sang
ketua. Akibat dari ketidak pekaan seperti inilah yang membuat hati-hati orang di
sekitar kita tersakiti meski secara tidak sengaja. Dan itu perlahan membuat kita
kehilangan empati dan simpati kita pada sesama.
Harusnya kita sadari bahwa masalah perasaan adalah salahsatu perkara
yang juga harus di jaga. Agar tak ada lagi kekecewaan-kekecewaan di sekitar kita.
Disinilah kemudian letak pentingnya kata "Tafahum" yang ada pada pilar
ukhuwah kita. Tafahum artinya memahami benar kondisi saudara kita secara lahir
maupun bathin. Kita paham kapan harus memberi pertolongan, kita paham apa
yang membuatnya tersinggung, kita paham apa yang membuatnya kembali
semangat, kita paham kapan ia sedang senang, bahkan kita paham kapan saatnya
ia tak sama sekali megharapkan kehadiran kita.
Jangan sampai adalagi al-akh yang dengan alasan karakter bawaannya
yang cuek lalu dengan santainya menganggap semua orang dapat menerimanya
apa adanya. Harus senantiasa kita pahami mana diantara saudara kita yang cuek,
yang biasa saja, serta yang sensitif. Agar kemudian kita bisa menentukan cara kita
bersikap. Seringkali kita terjebak pada pemikiran untuk menyama ratakan semua
ikhwah yang kita hadapi. Karena dalam benak kita asalkan dia ikhwah berarti cara
merasanya juga sama dengan kita. Padahal semua itu tak akan mungkin untuk di
sama ratakan, karena itulah sekali lagi kita harus mulai berani keluar dari persepsi
semacam ini.
Persepsi semacam ini selalu saja membuat kita tak peka dan tak pintar
merasa. Karena persepsi tempat kita berpijak telah salah, maka seterusnya ia akan
melahirkan kesalahan-kesalahan lain yang semakin lama akan semakin banyak,
dan semakin membuat kita bingung untuk menentukan solusinya. Bisa kita
bayangkan permasalahan yang banyak diiringi dengan kebingungan kita dalam
menentukan solusi. Apa yang akan terjadi?.
Tetapi akhirnya kita harus proporsional dalam masalah perasaan ini. Tak
boleh ada yang berlebihan. Berlebihan cueknya akan membuat banyak orang di
sekitar kita merasa tersakiti. Berlebihan sensitifnya akan membuat orang di sekitar
kita kaku dalam berinteraksi dengan kita. Islam selalu mengajarkan kita untuk
proporsional dalam segala sesuatu, termasuk di dalamnya pada masalah perasaan
ini. Wallahu A'lam