Ahlan Wa Sahlan...

Ahlan Wa Sahlan...silahkan memaknai semua yang tergores di blog ini

Jumat, 20 Agustus 2010

Kecerdasan Perasaan (Belajar Merasa Pada Dua Pemimpin Yang Perasa)

Suatu hari kata Umar Tilmisani Mursyid 'Am ketiga Ikhwanul Muslimin.
Hasan Al-banna di undang untuk makan siang di rumah salah seorang akh di
dekat Syabin Qanathir, sayangnya akh tersebut tidak mengundang Tilmisani
selaku penanggung jawab di wilayah itu. Hasan Al-Banna berusaha untuk
menyadarkan kekeliruan akh tersebut secara halus, namun akh tersebut tak juga
menyadari. Akhirnya Al-Banna mengutus orang untuk memanggil Tilmisani, dan
Tilmisani pun datang menemui Mursyid 'Am pertama Ikhwanul Muslimin
tersebut, dan terjadilah dialog ini:
"Mari berangkat bersama ku". Ujar Al-banna
"Kemana.?" Tilmisani bertanya.
"Makan siang di rumah si fulan". Jawabnya singkat
Lalu Tilmisani berkata:
"Tetapi saya tidak di undang, Ustadz paham sekali sensitifnya
perasaanku dalam hal seperti ini!"
"Saya paham betul. Tetapi, saya tidak dapat melintasi Syabin Qonathir
tanpa al-akh yang menjadi mas'ul. Mengapa engkau menghendakiku
melangkahimu?".
"Ustadz adalah pemimpin kami dan kami semua wajib taat kepada
Ustadz"
Dialog terus berlanjut hingga akhirnya Tilmisani ikut bersama Al-banna
karena ia mendesak dengan argumen-argumen yang logis.
Fregmen penuh hikmah yang di ketengahkan oleh orang-orang yang saling
memamahi satu sama lainnya. Tak dapatkah kita mengambil pelajaran?. Ada satu
hal yang terkadang terlupakan pada gerakan kita yaitu menghargai dan memahami
perasaan saudara sesama da'i yang berada di sekeliling kita.
Dengan semangat yang tinggi ada seorang akh yang begitu sering
ngomong ketika rapat, sehingga seakan-akan ia lah yang memimpin rapat pada
saat itu, padahal di sampingnya sang pemimpin terdiam menatapnya penuh
makna. Ketika di tegur setelah rapat usai ia berkata dengan lantang:
"Ya...pemimpinnya gitu sih gak ada inisiatif".
Pernah pula seorang panitia memberikan jatah taujih yang seharusnya
lebih pantas di berikan oleh ketua sebuah wajihah kepada orang yang
dianggapnya lebih bisa, tanpa sama sekali mengkomunikasikannya dengan sang
ketua. Akibat dari ketidak pekaan seperti inilah yang membuat hati-hati orang di
sekitar kita tersakiti meski secara tidak sengaja. Dan itu perlahan membuat kita
kehilangan empati dan simpati kita pada sesama.
Harusnya kita sadari bahwa masalah perasaan adalah salahsatu perkara
yang juga harus di jaga. Agar tak ada lagi kekecewaan-kekecewaan di sekitar kita.
Disinilah kemudian letak pentingnya kata "Tafahum" yang ada pada pilar
ukhuwah kita. Tafahum artinya memahami benar kondisi saudara kita secara lahir
maupun bathin. Kita paham kapan harus memberi pertolongan, kita paham apa
yang membuatnya tersinggung, kita paham apa yang membuatnya kembali
semangat, kita paham kapan ia sedang senang, bahkan kita paham kapan saatnya
ia tak sama sekali megharapkan kehadiran kita.
Jangan sampai adalagi al-akh yang dengan alasan karakter bawaannya
yang cuek lalu dengan santainya menganggap semua orang dapat menerimanya
apa adanya. Harus senantiasa kita pahami mana diantara saudara kita yang cuek,
yang biasa saja, serta yang sensitif. Agar kemudian kita bisa menentukan cara kita
bersikap. Seringkali kita terjebak pada pemikiran untuk menyama ratakan semua
ikhwah yang kita hadapi. Karena dalam benak kita asalkan dia ikhwah berarti cara
merasanya juga sama dengan kita. Padahal semua itu tak akan mungkin untuk di
sama ratakan, karena itulah sekali lagi kita harus mulai berani keluar dari persepsi
semacam ini.
Persepsi semacam ini selalu saja membuat kita tak peka dan tak pintar
merasa. Karena persepsi tempat kita berpijak telah salah, maka seterusnya ia akan
melahirkan kesalahan-kesalahan lain yang semakin lama akan semakin banyak,
dan semakin membuat kita bingung untuk menentukan solusinya. Bisa kita
bayangkan permasalahan yang banyak diiringi dengan kebingungan kita dalam
menentukan solusi. Apa yang akan terjadi?.
Tetapi akhirnya kita harus proporsional dalam masalah perasaan ini. Tak
boleh ada yang berlebihan. Berlebihan cueknya akan membuat banyak orang di
sekitar kita merasa tersakiti. Berlebihan sensitifnya akan membuat orang di sekitar
kita kaku dalam berinteraksi dengan kita. Islam selalu mengajarkan kita untuk
proporsional dalam segala sesuatu, termasuk di dalamnya pada masalah perasaan
ini. Wallahu A'lam

Tidak ada komentar: